Rabu, 25 November 2015

MAKALAH “ Prinsip-Prinsip Dasar Bank Syari’ah “ “ Operasional Perbankan Syari’ah ”

MAKALAH

“ Prinsip-Prinsip Dasar Bank Syari’ah “

Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ Operasional Perbankan Syari’ah ”

Dosen Pembimbing:
Abdul Wahab, S.H.I., M.E.I.

Description: Description: D:\logounisla\LOGO UNISLA 2.jpg

Disusun oleh :
Uswatun Khoiroh
( 201302329057 )


PROGAM STUDY EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
LAMONGAN

2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada dalam bank konvensional.

B.            Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.             Apa pengertian Bank Syari’ah?
2.             Bagaimana dasar hukum Bank Syari’ah?
3.             Bagaimana prinsip-prinsip perbankan syari’ah?
4.             Apa saja produk-produk perbankan syari’ah?

C.           Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1.             Untuk mengetahui pengertian bank Syari’ah.
2.             Untuk mengetahui dasar hukum bank syari’ah.
3.             Untuk mengetahui prinsip-prinsip perbankan syari’ah.
4.             Untuk mengetahui produk-produk perbankan syari’ah.







                                                                              

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian bank Syari’ah
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah. Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalisisnya pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbangkan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam[1].
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvnsional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi[2].

B.            Dasar Hukum Bank Syari’ah
Perbankan syariah menurut undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Pembiayaan Rakyat Syariah[3].

C.           Prinsip Bank Syari’ah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa Prinsip atau hukum yang dianut oleh system perbankan syariah antara lain:
1.             Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.             Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3.             Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsic.
4.             Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5.             Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan pada Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya[4].

D.           Produk-Produk Bank Syari’ah
1.             Titipan atau Simpanan (al-Wadi’ah)
Al-Wadi’ah adalah titipan atau simpanan, yaitu titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Akad wadi’ah terbagi 2 yaitu : wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad ad-dhamanah.
a)    Wadi’ah yad al-amanah (tangan amanah)
Pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan harta yang dititipkan akan tetapi dapat membebankan biaya kepada pihak yang menitip sebagai biaya penitipan. Dan dalam wadi’ah yad al-amanah penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada harta titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan akan tetapi disebabkan karena faktor-faktor yang berada di luar batas kemampuan pihak yang menerima titipan. Bentuk dari akad ini di perbankan adalah kotak simpanan (safe deposit box).
b)   Wadi’ah yad ad-dhamanah (tangan penanggung)
Penerima titipan dapat mempergunakan harta tersebut dalam aktivitas perekonomian tertentu dengan izin dari pemberi titipan dengan syarat ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh dan ia bertanggungjawab atas segala kehilangan / kerusakan yang terjadi pada harta tersebut. Dalam akad ini, semua keuntungan adalah hak penerima titipan dan semua kerugian adalah tanggungjawabnya pula.
Dalam perbankan, wadi’ah diwujudkan dalam bentuk giro atau tabungan. Sebagai imbalan, orang yang menitipkan hartanya mendapatkan jaminan keamanan terhadap hartanya dan dalam perbankan ia juga dapat menikmati fasilitas lainnya dari bank yang bersangkutan. Dan juga bank sebagai pemanfaat harta tidak dilarang untuk memberikan bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan tidak ditetapkan nominal maupun persentasenya, tetapi benar-benar merupakan kebijakan dari pihak bank.
2.             Bagi Hasil
a)    Al-Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti al–ikhtilath (pencampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Sedangkan menurut istilah adalah akad persekutuan dalam hal modal, keuntungan dan tasharruf (pengelolaan). Jadi dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
Prinsip dan syarat syirkah :
1)   Masing-masing pihak yang berserikat berwenang melakukan tindakan hukum atas nama perserikatan dengan izin pihak lain. Segala akibat dari tindakan tersebut, baik hasil maupun resikonya ditanggung bersama.
2)   Sistem pembagian keuntungan harus ditetapkan secara jelas persentase dan periodenya.
3)   Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan merupakan keuntungan bersama.
Sedangkan persyaratan untuk modal yaitu :
1)   Harus diserahkan dan berbentuk tunai, tidak boleh berupa piutang atau jaminan.
2)   Harus berupa alat tukar seperti dinar, dirham, dan mata uang lainnya. Tidak boleh berupa barang dagangan atau komoditas.
b)   Al-Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Secara istilah Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan. perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Persyaratan mudharabah :
1)   Masing-masing pihak memenuhi persyaratan mukallaf (cakap).
2)   Modal harus jelas jumlahnya, berupa alat tukar, tidak berupa barang dagangan dan harus tunai, dan diserahkan seluruhnya kepada pihak pengusaha.
3)   Persentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh keuntungan menjadi milik bersama.
4)   Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. Pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan pengelolaan modal.
5)   Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pengelola samasekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaannya.
Sedangkan mudharabah sendiri terbagi menjadi dua macam berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan dana yaitu :
1)   Mudharabah Mutlaqah
Dikenal dengan istilah URIA (Unrestricted Investment Account). Dalam mudharabah mutlaqah tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank mengenai industri ataupun nasabah tertentu yang ingin dibiayai. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan. Dari akad jenis dikembangkan produk tabungan dan deposito.
2)   Mudharabah Muqayyadah
Ada dua jenis mudharabah muqayyadah yaitu :
a. Yang dikenal dengan RIA (Unrestricted Investment Account). Mudharabah jenis ini merupakan dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank misalnya disyaratkan digunakan untuk syarat tertentu atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu (mudharabah muqayyadah on balance sheet).
b. Yang dikenal dengan mudharabah muqayyadah of balance sheet, mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pemilik usaha.
c)    Al-Muzara’ah
Secara bahasa berarti melemparkan tanaman dan makna hakikinya adalah modal. Sedangkan secara istilah Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Atau bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
Syarat-syarat Muzara’ah :
1)   Kedua orang yang berakad harus berakal.
2)   Ditentukan macam tanaman apa saja yang akan ditanam.
3)   Perolehan hasil ditentukan persentasenya ketika akad dan pembagiannya diambil dari satu jenis barang yang sama.
4)   Tanah harus tanah yang dapat ditanami dan diketahui batas-batasnya.
5)   Waktunya ditentukan sebanyak waktu yang memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud
6)   Alat-alat yang digunakan dibebankan kepada pemilik tanah.
d)   Al-Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa yaitu seseorang mengurus pohon anggur supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu sebagai imbalan. Secara istilah musaqah adalah akad untuk pemeliharaan pohon, tanaman, dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Jadi disimpulkan bahwa musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Menurut Hanabilah al-Musaqah mencakup dua masalah yaitu :
1)   Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami seperti pohon anggur, kurma, dan yang lainnya, baginya ada buah yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2)    Seseorang menyerahkan tanah dan pohon yang belum ditanam, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya.
3.             Jual Beli
a)    Bai’ al-Murabahah
Adalah suatu penjualan barang seharga tersebut ditambah keuntungan yang disepakati dengan kata lain murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Keempat mazhab membolehkan Pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Dan tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Atau penyaluran dana dalam bentuk jual beli.
Murabahah adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
b)   Bai’ as-Salam
Bai’ as-salam ialah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka dengan kata lain, as-salam adalah akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan pada majlis akad. Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam penbiayaan barang yang belum ada, seperti pembelian komoditi dijual kembali secara tunai atau secara cicilan. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
c)    Bai’ al-Istishna’
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi. merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Pada prinsipnya, akad al-istishna’ menyerupai akad as-salam dimana keduanya tergolong bai’ al-ma’dum, yaitu jual-beli barang yang belum wujud. Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut :
1)   Obyek as-salam bersifat al-dain (tanggungan) sedangkan obyek istishna’ bersifat al-’ain (benda).
2)   Menurut Hanafiyah, dalam akad salam dibatasi dengan waktu yang pasti, persyaratan ini tidak berlaku pada akad istishna’.
3)   Menurut Hanafiyah, akad salam bersifat luzum (mengikat kedua pihak), sedang akad istishna’ tidak bersifat luzum. Sedangkan menurut jumhur akad salam dan istishna’ sama-sama bersifat luzum.
4)   Menurut Hanafiyah harga pokok dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam majelis akad, dan hal ini tidak diharuskan dalam akad istishna’ sedangkan menurut jumhur ulama harga pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai ketika akad berlangsung.
4.             Sewa
a)    Al-Ijarah
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah obyek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa, jasa atau imbalan. Secara istilah, ijarah dapat didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional), ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini :
1)   Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
2)   Obyek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
3)   Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’.
4)   Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
5)   Harta benda yang menjadi obyek ijarah harus harta benda yang bersifat isti’maliy yaitu harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya.
Adapun ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai persyaratan sebagai berikut :
1)   Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan.
2)   Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak pekerja sebelum berlangsung akad ijarah.
b)   Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik
Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik merupakan perpaduan antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah diakhir masa sewa. Secara bahasa berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan. Adapun pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
1)   Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhiir masa sewa pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga barang dan margin laba. Sehingga penyewa harus membeli barang itu diakhir periode.
2)   Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar sehingga akumulasi sewa diakhir periode sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba. Dengan demikian barang tersebut dapat dihibahkan kepada penyewa.
5.             Jasa (Fee-based Service)
a)    Al-Wakalah (Deputyship)
Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.
b)   Al-Hiwalah (Transfer service)
Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
c)    Ar-Rahn (Mortgage)
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan syariah. Rahn adalah menahan salah satu hak milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagai piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)   Milik nasabah sendiri,
2)   Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
3)   Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung jawab.
d)   Al-Qardh
Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga (riba) secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial. Al-Qardh Adalah pemberian harta pada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh dikategorikan kedalam akad saling membantu (tathawwu’i) dan bukan merupakan transaksi komersial (tijarah). Sehingga di dalam al-qardh samasekali tidak diperbolehkan untuk mengambil kelebihan apapun. Kecuali dari pihak peminjam mengembalikan dengan kelebihan dengan tanpa dipersyaratkan sebelumnya.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
1)   Sebagai pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
2)   Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3)   Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
4)   Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
e)    Al-Kafalah (Guaranty)
Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (ditanggung), dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Jenis–jenis Kafalah :
1)   Kafalah bin-nafs adalah akad memberi jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktek perbankan adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yag dibiayai mengalami kesulitan
2)   Kafalah bil-maal ialah jaminan pembiayaan barang atau pelunasan hutang.
3)   Kafalah bit-taslim yaitu kafalah yang biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
4)   Kafalah al-munjazah yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalm bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan sudah sesuai dengan bentuk akad ini.
5)   Kafalah mu’allaqah yaitu bentuk jaminan yang merupakan penyederhanaan dari kafalah al-Munjazah, baik oleh industri perbankan atau asuransi.
Bentuk produk kafalah di perbankan adalah garansi bank yang dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan[5].

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.
Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam produk-produk perbankan syariah adalah :
1.             Titipan atau simpanan berasal dari akad al-wadi’ah (titipan).
2.             Bagi hasil dengan akad : al-musyarakah (kemitraan), al-mudharabah (penyertaan modal), al-muzara’ah dan al-musaqah (pembiayaan ke sektor pertanian).
3.             Jual beli dengan akad : bai’ al-murabahah (jual beli dengan margin), bai’ as-salam dan bai’ al-istishna’ (jual beli dengan pesanan).
4.             Sewa dengan akad : al-ijarah (sewa), al-ijarah muntahiya bit-tamlik (sewa yang diakhiri dengan kepemilikan).
5.             Jasa dengan akad : al-wakalah (perwakilan), al-hawalah (pengalihan hutang atau layanan transfer), ar-rahn (gadai), al-qardh (pinjaman), al-kafalah (penjaminan).

DAFTAR PUSTAKA

Farisah Amanda, Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah, dalam http://farisah-amanda.blogspot.com/2010/03/prinsip-prinsip-dasar-perbankan-syari’ah.html?m=1 (06 maret 2010)
Frianto Pandia, Lembaga Keuangan, Jakarta, Rineka Cipta, 2005
Karnaen Perwataatmadja , Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997
Lathifah Bahrun, Bank Syari’ah, dalam http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/bank-syariah.html  (04 Januari 2012)
Machmud Amir & Rukmana, Bank Syariah, Jakarta, Erlangga, 2010





[1] Machmud Amir & Rukmana, Bank Syariah, (Jakarta: Erlangga, 2010), 23
[2] Karnaen Perwataatmadja , Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997), 11
[3] Frianto Pandia, Lembaga Keuangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 51

[4] Lathifah Bahrun, “Bank Syari’ah”, dalam http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/bank-syariah.html  (04 Januari 2012)
[5] Farisah Amanda, “Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah”, dalam http://farisah-amanda.blogspot.com/2010/03/prinsip-prinsip-dasar-perbankan-syari’ah.html?m=1 (06 maret 2010)