MAKALAH
“
Prinsip-Prinsip Dasar Bank Syari’ah “
Di ajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“
Operasional Perbankan Syari’ah ”
Dosen
Pembimbing:
Abdul
Wahab, S.H.I., M.E.I.
Disusun oleh :
Uswatun Khoiroh
(
201302329057 )
PROGAM
STUDY EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM LAMONGAN
LAMONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan
yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan
sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan
bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan
haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak
islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank
Muamalat Indonesia. Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya
kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka
terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka
dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Sampai saat ini perbankan syariah
di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak
menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.Bahkan para ulama-ulama di
negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal
tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan
syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada
dalam bank konvensional.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa
masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.
Apa pengertian
Bank Syari’ah?
2.
Bagaimana dasar
hukum Bank Syari’ah?
3.
Bagaimana
prinsip-prinsip perbankan syari’ah?
4.
Apa saja
produk-produk perbankan syari’ah?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan
beberapa tujuan pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pengertian bank Syari’ah.
2.
Untuk mengetahui
dasar hukum bank syari’ah.
3.
Untuk mengetahui
prinsip-prinsip perbankan syari’ah.
4.
Untuk mengetahui
produk-produk perbankan syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
bank Syari’ah
Bank syariah
adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya baik dalam penghimpunan dana maupun
dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar
prinsip syariah. Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak
mengandalkan operasionalisisnya pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut
dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbangkan yang operasional
dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam[1].
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima
titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh
dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal
yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat
ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional
memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank
konvnsional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi[2].
B.
Dasar
Hukum Bank Syari’ah
Perbankan
syariah menurut undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Pembiayaan
Rakyat Syariah[3].
C.
Prinsip
Bank Syari’ah
Prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa Prinsip
atau hukum yang dianut oleh system perbankan syariah antara lain:
1.
Pembayaran
terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.
Pemberi dana
harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha
institusi yang meminjam dana.
3.
Islam tidak
memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media
pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsic.
4.
Unsur Gharar
(ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5.
Investasi hanya
boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan pada Islam. Usaha
minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip
perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena
menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya[4].
D.
Produk-Produk
Bank Syari’ah
1.
Titipan
atau Simpanan (al-Wadi’ah)
Al-Wadi’ah
adalah titipan atau simpanan, yaitu titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki. Akad wadi’ah terbagi 2 yaitu : wadi’ah yad
al-amanah dan wadi’ah yad ad-dhamanah.
a) Wadi’ah
yad al-amanah (tangan amanah)
Pihak yang menerima tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan harta yang dititipkan akan tetapi dapat
membebankan biaya kepada pihak yang menitip sebagai biaya penitipan. Dan dalam
wadi’ah yad al-amanah penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada harta titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan
akan tetapi disebabkan karena faktor-faktor yang berada di luar batas kemampuan
pihak yang menerima titipan. Bentuk dari akad ini di perbankan adalah kotak
simpanan (safe deposit box).
b) Wadi’ah
yad ad-dhamanah (tangan penanggung)
Penerima titipan dapat
mempergunakan harta tersebut dalam aktivitas perekonomian tertentu dengan izin
dari pemberi titipan dengan syarat ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut
secara utuh dan ia bertanggungjawab atas segala kehilangan / kerusakan yang
terjadi pada harta tersebut. Dalam akad ini, semua keuntungan adalah hak
penerima titipan dan semua kerugian adalah tanggungjawabnya pula.
Dalam perbankan,
wadi’ah diwujudkan dalam bentuk giro atau tabungan. Sebagai imbalan, orang yang
menitipkan hartanya mendapatkan jaminan keamanan terhadap hartanya dan dalam
perbankan ia juga dapat menikmati fasilitas lainnya dari bank yang
bersangkutan. Dan juga bank sebagai pemanfaat harta tidak dilarang untuk
memberikan bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan tidak
ditetapkan nominal maupun persentasenya, tetapi benar-benar merupakan kebijakan
dari pihak bank.
2.
Bagi
Hasil
a) Al-Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata
al-syirkah yang berarti al–ikhtilath (pencampuran) atau persekutuan dua hal
atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Sedangkan menurut
istilah adalah akad persekutuan dalam hal modal, keuntungan dan tasharruf
(pengelolaan). Jadi dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian (expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
konsep ini diterapkan pada model
partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio
yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang
dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam
konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah
tidak ada campur tangan.
Prinsip dan syarat syirkah :
1) Masing-masing
pihak yang berserikat berwenang melakukan tindakan hukum atas nama perserikatan
dengan izin pihak lain. Segala akibat dari tindakan tersebut, baik hasil maupun
resikonya ditanggung bersama.
2) Sistem
pembagian keuntungan harus ditetapkan secara jelas persentase dan periodenya.
3) Sebelum
dilakukan pembagian, seluruh keuntungan merupakan keuntungan bersama.
Sedangkan persyaratan untuk modal yaitu :
1) Harus
diserahkan dan berbentuk tunai, tidak boleh berupa piutang atau jaminan.
2) Harus
berupa alat tukar seperti dinar, dirham, dan mata uang lainnya. Tidak boleh
berupa barang dagangan atau komoditas.
b) Al-Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb,
berarti memukul atau berjalan. Secara istilah Al-Mudharabah adalah akad kerja
sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan. perjanjian antara penyedia modal dengan
pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu
yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali
kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan
penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan
penyalahgunaan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Persyaratan mudharabah :
1) Masing-masing
pihak memenuhi persyaratan mukallaf (cakap).
2) Modal
harus jelas jumlahnya, berupa alat tukar, tidak berupa barang dagangan dan
harus tunai, dan diserahkan seluruhnya kepada pihak pengusaha.
3) Persentase
keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas
berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian, seluruh
keuntungan menjadi milik bersama.
4) Pengusaha
berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal.
Pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan
pengelolaan modal.
5) Kerugian
atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pengelola
samasekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaannya.
Sedangkan mudharabah sendiri
terbagi menjadi dua macam berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak
penyimpan dana yaitu :
1) Mudharabah
Mutlaqah
Dikenal dengan istilah URIA
(Unrestricted Investment Account). Dalam mudharabah mutlaqah tidak ada
pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak
memberikan persyaratan apapun kepada bank mengenai industri ataupun nasabah
tertentu yang ingin dibiayai. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk
menyalurkan dana ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan. Dari
akad jenis dikembangkan produk tabungan dan deposito.
2) Mudharabah
Muqayyadah
Ada dua jenis mudharabah muqayyadah yaitu :
a.
Yang dikenal dengan RIA (Unrestricted Investment Account). Mudharabah jenis ini
merupakan dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh bank misalnya disyaratkan digunakan untuk syarat tertentu
atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu (mudharabah muqayyadah on
balance sheet).
b.
Yang dikenal dengan mudharabah muqayyadah of balance sheet, mudharabah ini
merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana
bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik
dana dengan pemilik usaha.
c) Al-Muzara’ah
Secara
bahasa berarti melemparkan tanaman dan makna hakikinya adalah modal. Sedangkan
secara istilah Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu
(persentase) dari hasil panen. Atau bank memberikan pembiayaan bagi nasabah
yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari
hasil panen.
Syarat-syarat
Muzara’ah :
1) Kedua
orang yang berakad harus berakal.
2) Ditentukan
macam tanaman apa saja yang akan ditanam.
3) Perolehan
hasil ditentukan persentasenya ketika akad dan pembagiannya diambil dari satu
jenis barang yang sama.
4) Tanah
harus tanah yang dapat ditanami dan diketahui batas-batasnya.
5) Waktunya
ditentukan sebanyak waktu yang memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud
6) Alat-alat
yang digunakan dibebankan kepada pemilik tanah.
d) Al-Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa
yaitu seseorang mengurus pohon anggur supaya mendatangkan kemaslahatan dan
mendapatkan bagian tertentu sebagai imbalan. Secara istilah musaqah adalah akad
untuk pemeliharaan pohon, tanaman, dan yang lainnya dengan syarat-syarat
tertentu. Jadi disimpulkan bahwa musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana
dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari
hasil panen.
Menurut Hanabilah al-Musaqah mencakup dua masalah
yaitu :
1) Pemilik
menyerahkan tanah yang sudah ditanami seperti pohon anggur, kurma, dan yang
lainnya, baginya ada buah yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon
tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2) Seseorang menyerahkan tanah dan pohon yang
belum ditanam, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya.
3.
Jual
Beli
a) Bai’
al-Murabahah
Adalah suatu penjualan barang
seharga tersebut ditambah keuntungan yang disepakati dengan kata lain murabahah
adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
(margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Keempat mazhab membolehkan
Pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Dan tidak
membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang
memang semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya langsung yang berkaitan
dengan hal-hal yang berguna. Atau penyaluran dana dalam bentuk jual beli.
Murabahah adalah transaksi jual
beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika
telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan,
murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil).
Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan
bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur
selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
b) Bai’
as-Salam
Bai’ as-salam ialah pembelian
barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka
dengan kata lain, as-salam adalah akad atas suatu barang dengan kriteria
tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan pada majlis
akad. Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan
belum ada. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank,
maka bank akan menjualnya kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara
angsuran. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam penbiayaan barang yang belum
ada, seperti pembelian komoditi dijual kembali secara tunai atau secara
cicilan. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6
bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak
dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada
pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain
misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang
direkomendasikan penjual.
c) Bai’
al-Istishna’
Produk istishna menyerupai produk
salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam
beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi. merupakan bentuk
As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara
angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada
pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak
diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang
mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan
pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Pada prinsipnya, akad al-istishna’
menyerupai akad as-salam dimana keduanya tergolong bai’ al-ma’dum, yaitu
jual-beli barang yang belum wujud. Namun antara keduanya terdapat beberapa
perbedaan sebagai berikut :
1) Obyek
as-salam bersifat al-dain (tanggungan) sedangkan obyek istishna’ bersifat
al-’ain (benda).
2) Menurut
Hanafiyah, dalam akad salam dibatasi dengan waktu yang pasti, persyaratan ini
tidak berlaku pada akad istishna’.
3) Menurut
Hanafiyah, akad salam bersifat luzum (mengikat kedua pihak), sedang akad
istishna’ tidak bersifat luzum. Sedangkan menurut jumhur akad salam dan
istishna’ sama-sama bersifat luzum.
4) Menurut
Hanafiyah harga pokok dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam
majelis akad, dan hal ini tidak diharuskan dalam akad istishna’ sedangkan
menurut jumhur ulama harga pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai ketika
akad berlangsung.
4.
Sewa
a) Al-Ijarah
Transaksi ijarah dilandasi adanya
perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi
pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi
perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek
transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah obyek transaksinya adalah
barang maupun jasa.
Ijarah secara bahasa berarti upah
dan sewa, jasa atau imbalan. Secara istilah, ijarah dapat didefinisikan sebagai
hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu.
Menurut fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional), ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri.
Tidak semua harta benda boleh
diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini :
1) Manfaat
dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
2) Obyek
ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak
mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
3) Obyek
ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’.
4) Obyek
yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
5) Harta
benda yang menjadi obyek ijarah harus harta benda yang bersifat isti’maliy
yaitu harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan
kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya.
Adapun ijarah yang mentransaksikan
suatu pekerjaan atas seorang pekerja, harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai persyaratan sebagai berikut :
1) Perbuatan
tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan.
2) Pekerjaan
yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban
pihak pekerja sebelum berlangsung akad ijarah.
b) Al-Ijarah
al-Muntahiya bit Tamlik
Al-Ijarah al-Muntahiya bit Tamlik
merupakan perpaduan antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah diakhir masa
sewa. Secara bahasa berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan. Adapun
pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
1) Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada
akhiir masa sewa pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa
untuk membayar sewa relatif kecil. Maka akumulasi nilai sewa yang sudah
dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga barang dan margin
laba. Sehingga penyewa harus membeli barang itu diakhir periode.
2) Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa
untuk membayar sewa relatif lebih besar sehingga akumulasi sewa diakhir periode
sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba. Dengan
demikian barang tersebut dapat dihibahkan kepada penyewa.
5.
Jasa
(Fee-based Service)
a) Al-Wakalah
(Deputyship)
Al-Wakalah adalah suatu akad pada
transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai
dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C
(Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
Bank
dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum.
Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian
L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam,
ijarah, mudharabah, atau musyarakah.
b) Al-Hiwalah
(Transfer service)
Al-Hawalah adalah akad perpindahan
dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang
menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga
pengambilalihan hutang).
Dalam praktik perbankan syariah,
fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai
agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang.
c) Ar-Rahn
(Mortgage)
Ar-Rahn, adalah suatu akad pada
transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan
syariah. Rahn adalah menahan salah satu hak milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagai piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Tujuan akad rahn adalah memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang
digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)
Milik nasabah sendiri,
2)
Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan
nilai riil pasar,
3)
Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas
izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan
tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang
digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggung
jawab.
d) Al-Qardh
Al-Qardh adalah salah satu akad
yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan
pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga
(riba) secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial. Al-Qardh
Adalah pemberian harta pada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh
dikategorikan kedalam akad saling membantu (tathawwu’i) dan bukan merupakan
transaksi komersial (tijarah). Sehingga di dalam al-qardh samasekali tidak
diperbolehkan untuk mengambil kelebihan apapun. Kecuali dari pihak peminjam
mengembalikan dengan kelebihan dengan tanpa dipersyaratkan sebelumnya.
Aplikasi qardh dalam perbankan
biasanya dalam empat hal yaitu:
1) Sebagai
pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
2) Sebagai
pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah
diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan
mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3) Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli,
ijarah, atau bagi hasil.
4) Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
e) Al-Kafalah
(Guaranty)
Al-Kafalah adalah memberikan
jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan
tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang
lain sebagai jaminan. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (ditanggung),
dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang
yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Jenis–jenis Kafalah :
1) Kafalah
bin-nafs adalah akad memberi jaminan atas diri (personal guarantee). Sebagai
contoh dalam praktek perbankan adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan
dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap
tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yag dibiayai
mengalami kesulitan
2) Kafalah
bil-maal ialah jaminan pembiayaan barang atau pelunasan hutang.
3) Kafalah
bit-taslim yaitu kafalah yang biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas
barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini
dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk
kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran
bagi bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan uang
jasa (fee) kepada nasabah itu.
4) Kafalah
al-munjazah yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan
kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah
pemberian jaminan dalm bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal
yang lazim dikalangan perbankan dan sudah sesuai dengan bentuk akad ini.
5) Kafalah
mu’allaqah yaitu bentuk jaminan yang merupakan penyederhanaan dari kafalah
al-Munjazah, baik oleh industri perbankan atau asuransi.
Bentuk produk kafalah di perbankan
adalah garansi bank yang dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula
menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank
mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan[5].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bank syariah
adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun
dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar
prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Prinsip
perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena
menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.
Prinsip-prinsip
dasar yang digunakan dalam produk-produk perbankan syariah adalah :
1.
Titipan atau
simpanan berasal dari akad al-wadi’ah (titipan).
2.
Bagi hasil
dengan akad : al-musyarakah (kemitraan), al-mudharabah (penyertaan modal),
al-muzara’ah dan al-musaqah (pembiayaan ke sektor pertanian).
3.
Jual beli dengan
akad : bai’ al-murabahah (jual beli dengan margin), bai’ as-salam dan bai’
al-istishna’ (jual beli dengan pesanan).
4.
Sewa dengan akad
: al-ijarah (sewa), al-ijarah muntahiya bit-tamlik (sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan).
5.
Jasa dengan akad
: al-wakalah (perwakilan), al-hawalah (pengalihan hutang atau layanan
transfer), ar-rahn (gadai), al-qardh (pinjaman), al-kafalah (penjaminan).
DAFTAR
PUSTAKA
Farisah Amanda, Prinsip-prinsip
Dasar Perbankan Syariah, dalam http://farisah-amanda.blogspot.com/2010/03/prinsip-prinsip-dasar-perbankan-syari’ah.html?m=1
(06 maret 2010)
Frianto Pandia, Lembaga Keuangan,
Jakarta, Rineka Cipta, 2005
Karnaen
Perwataatmadja , Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997
Lathifah Bahrun, Bank Syari’ah,
dalam http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/bank-syariah.html (04 Januari 2012)
Machmud Amir & Rukmana, Bank
Syariah, Jakarta, Erlangga, 2010
[1] Machmud Amir & Rukmana, Bank
Syariah, (Jakarta: Erlangga, 2010), 23
[2] Karnaen
Perwataatmadja , Apa
dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf,
1997), 11
[3]
Frianto
Pandia, Lembaga Keuangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 51
[4] Lathifah Bahrun, “Bank Syari’ah”,
dalam http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/bank-syariah.html
(04 Januari 2012)
[5] Farisah Amanda, “Prinsip-prinsip
Dasar Perbankan Syariah”, dalam http://farisah-amanda.blogspot.com/2010/03/prinsip-prinsip-dasar-perbankan-syari’ah.html?m=1
(06 maret 2010)